Tuesday, March 27, 2012

Wayang Golek Sunda


       Wayang
Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.


Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa karya R Ng. Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-cerita yang bersumber dari kebudayaan India yang dialkulturasikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi yang berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit yang dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra atau tiga dimensi.
Menurut C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16 dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring / Kuningan.
Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Sanga. Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kasultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali Sanga yang menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek Pertama.
Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, ketika jaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya, ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan, dalam penyebarannya wayang golek dengan adanya kebebasan pemakaian bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih berkembang, dan menjangkau hampir seluruh Jawa Barat.
Menurut penjelasan Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke 18-19. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar), menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal Jawa Tengah, yang bertempat tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat bentuk golek purwa. Pada abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang golek, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Sunda..
    Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum.
Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung pada permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran tersebut untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walupun ada tetapi sudah jarang sekali di pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan memperingati hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran dan lain sebagainya. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang mengandung nilai tuntunan dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, tidak demikian halnya.
Hasil wawancara dari beberapa tokoh wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi(Karawang), Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung (Bandung), memberitakan bahwa sejak tahun 60-an sampai tahun 70-an, fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima khalayak penonton. Awal tahun 70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan bintang pesinden/juru kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi dalangnya. Akhirnya pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman lain yang menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima pembaharuan tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang, niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi pertunjukan yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka tidak mengherankan bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang golek yang mendatangkan tari Jaipong yang menari di atas panggung. Itulah barangkali yang membuat esensi dari wayang tersebut kurang begitu seimbang antara konsep wadah dan isi.
Bagi seniman wayang yang masih tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap ingin berupaya mengembangkan daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara garap tuntunan dan tontonan. Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-unsur pedalangan (penggarapan tokoh, lakon, alur, sastera pedalangan, sabet, iringan dll). Isi adalah penggarapan esensi atau rohani serta pesan moral yang akan disampaikan.
Kesimpulannya, keberadaan wayang golek dari dulu hingga sekarang memang mengalami perubahan serta pengembangan ke arah modernisasi tanpa mengurangi nilai tradisional, dan esensinya selalu relevan dengan situasi zaman.(Sumanto, Makalah, Konsep wadah dan isi).
Fungsi Wayang Golek di tengah-tengah masyarakat mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Baiak itu tentang moralitas, etika, adapt istiadat atau religi. Yang tak kalah pentingnya Wayang Golek itu pun berfungsi sebagai upacara ritual penolak bala, upacara tersebut Ngaruat.
      Sampai saat ini Wayang Golek masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa Barat, baik tua atau pun muda. Ia masih sering dipergelarkan pada berbagai pesta keramaian seperti khitanan, perkawinan, perayaan hari-hari besar, malam penggalangan dana, sebagai kaul/nazar, atau ngaruat untuk memohon berkah dan keselamatan.
      Pada masyarakat pedesaan, Wayang Golek dapat dijadikan alat untuk mengukur status social seseorang. Artinya apabila di kampong mereka ada orang yang menanggap Wayang Golek, apalagi dalangnya ternama, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai orang berada.
        Sebagai teater, Wayang Golek merupakan seni pertunjukan yang amat komplek sebab di dalamnya terdapat berbagai cabang seni seperti seni rupa, seni sastra, suara, musik dan seni tari. Demikian juga dengan cara penyajiannya, ia tidak cukup hanya dimainkan oleh seorang Dalang tetapi membutuhkan persoalan pendukung yang kadang-kadang melebihi 20 orang.
          Persoalan pendukung itu memang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, namun semuanya tetap harus mendukung Dalang sebagai pusat pertunjukan. Karena itu, dalam pergelaran Wayang Golek semua personal harus menjadi suatu kesatuan yang utuh dan padu agar semua dapat berjalan dengan sempurna.

2. Bentuk Wayang Golek

Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), ditatah/doukir, dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilasi disana-sini itu disebut juga Wayang Golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.

Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh sepertimanusia.
Bagian leher dan kepala disambungkan oleh bamboo 
yang telah diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat menengok ke kiri dank e kanan seperti manusia. Bagian bawah dari bamboo itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.

Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sedi siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang tersebut dapat bergerak menyerupai manusia. Bagian tangan tokoh-tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang bersngkutan.

3. Sumber Cerita

Cerita pada pertunjukan Wayang Golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabarata, yaitu kitab-kitab yang berasal dari kebudayaan Hindu di India. Namun cerita yang paling banyak digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan dari lakon induk ini telah lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang merupakan hasil kreatifitas para dalang.

4. Musik

Musik yang dipergunakan untuk mengiringi pergelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang berlaraskan Pelog/Salendro. Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending, adapun alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :


  •    Saron 1 Saron 2 - Peking - Demung - Selentem
  •    Bonang - Rincik - Kenong - Gambang
  •    Rebab - Kecrek - Kendang - Bedug
  •    Gong

Kedudukan musik dalam pergelaran Wayang Golek demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan, semuanya diiringi dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya

Misalnya :

1. Satria Ladak, seperti Narayana, Karna, Salya, Somantri, harus diiringi     
    dengan gending gawil
2. Satria Lungguh, seperti Arjuna, Abimanyu, Pandu, Semiaji, diiringi dengan 
    gending banjar Sinom atau Udan Mas
3. Ponggawa, seperti Gatotkaca, Indrajit, Baladewa, biasa diiringi dengan 
    gending bendrong, Waled, dan Macan Ucul.
4. Raja-raja, seperti Kresna diiringi dengan gending Kastawa, Rahwana 
    dengan gending Gonjing atau genggong
  5. Sinden/Juru Kawih

  Sinden atau Pasinden, dalam pergelaran Wayang Golek sering pula disebut Juru Kawin, Juru Sekar, atau Suarawati. Tugasnya adalah melantunkan lagu/kawin untuk mendukung sajian Dalang. Sebagai pendukung, tentu saja Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan lagu semena-mena, ia harus mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan oleh Dalang. Misalnya saat Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka) lagunya pun harus bermakna sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka syairnya pun harus romantis. Demikian juga saat Dalang akan menceritakan adegan di Astina, maka Pasinden ini terlebih dahulu harus mampu memberikan gambaran keadaan Negara Astina kepada penonton melalui syair-syair lagunya.
  Bahasa yang digunakan dalang dan bahasa yang digunakan Pasinden jelas berbeda fungsi. Bahasa Dalang fungsinya untuk mengungkapkan cerita, sedangkan bahasa yang digunakan Pasinden untuk memberikan gambaran dan mempertegas lukisan-likisan peristiwa yang dituturkan Dalang.
  Pada saat jeda atau pengisi celah antar adegan (saat Dalang istirahat), Pasinden ini biasanya diberi kesempatan untuk membawakan lagu/kawin lepas yang tidak terikat dengan cerita. Sering pula lagu-lagu itu dipesan oleh penonton dengan memberi tips yang tidak ditentukan besar-kecilnya.
  Sebuah pergelaran Wayang Golek umumnya memerlukan antara 2-5 orang Pasinden ditambah dengan Alok atau Wirasuara (pria). Semuanya tentu saja dituntut harus memiliki suara yang bagus dengan kepekaan yang tinggi terhadap musik dan karater Dalang

6. Bahasa dan Sastra Pedalangan

Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.

Demikian juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.

Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen

Dalam menyempaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang mempunyai ari sebagai berikut:

6.1 Sindir

Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau dikecamnya.

6.2 Silib

Silib adalah suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.

6.3 Siloka

Siloka adalah kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.

6.4 Simbul

Simbul adalah perlambang yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.

6.5. Sasmita

Yang dimaksud sasmita adalah isyarat atau pertanda

Hakikatnya Panca Curiga tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk memberikanbatasankepada Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat menyinggung orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka anggap adiluhung.

7. Susunan Pengadegan

Yang dimaksud dengan susunan pengadegan disini adalah pola cerita atau Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak begitu penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak karenanya.

Seraca garis besar Susunan Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Karatonan, Pasebanan, Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang, Perang Barubuh, dan Karatonan.

7.1. Karatonan

Menceritakan keadaan di keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar. Para Pembesar negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang Raja menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.

7.2. Pasebanan

Para pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban. Mereka mendapat tugas dari rajanya, yang intinya perintah tersebut akan merugikan pihak lain. Rombongan itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh Senapati andalannya. Pimpinan rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau gajah yang akan divisualisasikan Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang menarik

7.3. Bebegalan

Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.


7.4. Karaton Lain

Menceritakan keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.

7.5. Perang Papacal

Terjadi peperangankecilantara kedua belah pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.

7.6. Gara-Gara

Gara-gara ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk. Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut dengan Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan wejangan kepada muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama diiringi oleh para Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.

7.7. Perang Kembang

Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.

8.8 Perang Barubuh

Tokoh utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.

8.9 Karatonan

Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.

9. Waktu dan Tempat Pertunjukan

Wayang Golek Sunda dapat dipertunjukkan siang hari ataupun malam. Hal ini dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Pertunjukan siang hari biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB, sedangkan pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21,30 sampai menjelang azan Subuh.

Tempat pertunjukan bias dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain dan penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di tempat terbuka pergelaran wayang golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut biasanya lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.

Di atas panggung dipasang dua batang pohon pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area permainan atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan sekitar 80 cm dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di kanan-kiri area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih rendah, fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang telah baku.

TENTANG WAYANG GOLEK SUNDA

by UNTAIAN MUTIARA NUSANTARA on Friday, 25 September 2009 at 23:10 ·

Wayang golek atau disebut “golek” saja, merupakan salah satu jenis tradisi yang hingga sekarang masih tetap bertahan hidup di daerah Sunda. Berbeda dari wayang kulit yang dwimatra, golek adalah salah satu jenis wayang trimatra.

Golek memiliki sifat pejal. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi), yang dibuat dari bahan kayu bulat torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon.
Ada 2 macam wayang golek di daerah Sunda, yaitu wayang golek papak (cepak atau wayang golek menak dan wayang golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang golek purwa. Sama seperti wayang kulit, pementasan wayang golek purwa menampilkan cerita Ramayana dan Mahabharata.

APA ITU WAYANG..?
Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang sendiri meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sasra, seni lukis, seni pahat dan juga seni perlambang.
Menurut penelitian ahli sejarah, sebetulnya budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang sudah ada jauh sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Memang, cerita wayang yang populer saat ini merupakan adaptasi cerita dari karya sasra India, yaitu Ramayana dan Mahabrata. Tetapi sudah mengalami adaptasi untuk menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia.

Pengertian wayang sangat tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Kata wayang dapat diartikan secara luas, tetapi seringkali dibatasi dengan makna boneka, gambar, tiruan dari manusia, tokoh/pemain dalam suatu pertunjukan/sandiwara. Arti ini mirip dengan yang ada dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, yaitu wayang adalah boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.

ASAL USUL WAYANG
Mengenai asal-usul wayang khusus di Indonesia juga ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kebudayaan India yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pendapat lain mengatakan bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan asli masyarakat Jawa tanpa ada pengaruh budaya lain. Disebutkan pula oleh beberapa sumber bahwa wayang berasal dari relief candi karena candi memuat cerita wayang, seperti candi Prambanan.

Bukti keberadaan wayang dalam perjalanan sejarah di Indonesia tercatat dalam berbagai prasasti, seperti prasasti Tembaga (840 M), prasasti Ugrasena (896 M), dan prasasti Belitung (907 M).
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.

Pertunjukan Kesenian wayang sendiri adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Meski ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul wayang, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang di Indonesia sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan hingga kini masih hidup di dalam masyarakat.

JENIS WAYANG
Jenis wayang dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Berdasarkan cerita yang dibawakan, cara mementaskan, dan bahan pembuatannya, di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, terdapat sekitar 40 jenis wayang yang sebagian di antaranya sudah punah.

JENIS WAYANG BERDASARKAN CERITA
Cerita yang digunakan dalam pementasan wayang sangat beragam. Lakon wayang yang biasa dan sudah lebih dikenal masyarakat adalah Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang yang menggunakan kisah tersebut antara lain :
Wayang kulit, Wayang Golek,Wayang Orang, dan Wayang Jemblung.
Wayang-wayang tersebut biasa juga disebut wayang purwa.

Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang menggunakan unsur “cerita sesudah zaman purwa”. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang dianggap keturunan Pandawa.
Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber (ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita panji.

JENIS WAYANG BERDASARKAN CARA PEMENTARSANNYA
Cara pementasan wayang secara langsung berkait dengan bentuk wayang. Wayang kulit, misalnya. Pola pertunjukan wayang kulit yaitu bentuk wayang yang dinikmati bayangannya dalam kelir (layar) dihasilkan oleh sinar blencong, cempor, atau bahkan lampu pijar.
Bentuk pementasan lain adalah dengan membeberkan gambar wayang yang dibuat di atas kulit kayu, kertas, maupun bahan papar lainnya. Wayang yang dipentaskan dalam bentuk pementasan seperti itu disebut wayang beber.

Berbeda dengan pementasan wayang yang mulanya diadakan pada malam hari, wayang golek dipentaskan pada siang hari. Hal ini karena wayang golek memiliki bentuk seperti boneka, sehingga sifat pementasannya tidak menitikberatkan tampilan bayangan pada kelir sebagaimana sifat pementasan wayang pada malam hari.

Wayang klitik atau wayang krucil merupakan wayang boneka kayu, tetapi berbeda dengan wayang golek. Bentuknya pipih dan lebih menyerupai bentuk wayang kulit. Untuk mementaskannya tidak diperlukan kelir seperti pada wayang kulit, tetapi seperti memainkan golek.

Wayang dangkluk juga terbuat dari kayu, tetapi cara pementasannya sangat khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang masing-masing berada di sisi panggung.
Selain wayang-wayang yang terbuat dari kulit maupun kayu, ada pula wayang yang pemainnya orang, yaitu wayang orang, wayang topeng, wayang langendria, dan wayang jemblung. Pementasannya sama dengan sandiwara lainnya, hanya saja memakai kelengkapan pewayangan mulai dari pakaian, musik, tari, dan cerita.

JENIS WAYANG BERDASARAKN BAHAN PEMBUATANNYA
Bahan pembuatan wayang secara garis besar terdiri atas bahan dwimatra dan trimatra. Jenis wayang dwimatra biasa menggunakan bahan-bahan papar seperti kertas, kain, karton, dan kulit. Sementara itu jenis wayang trimatra terbuat dari bahan pejal berupa kayu bulat-torak.
Jenis wayang terbuat dari kulit antara lain wayang kulit purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang dupara, wayang jawa, wayang dobel, wayang kulit menak, wayang wahyu, wayang Ramayana, wayang parwa, wayang gambuh, wayang cupak, dan wayang calonarang.
Wayang beber merupakan jenis wayang yang dibuat di atas beberan kertas, kain, atau bahan sejenis lainnya. Keberadaannya pun berbeda dengan jenis wayang lainnya. Ia tidak mengalami perkembangan yang sinambung hingga kini.
Wayang yang terbuat dari bahan kayu terdiri atas dua macam. Pertama, wayang golek. Wayang ini lebih mirip dengan boneka kayu yang terbuat dari kayu bulat-torak. Kedua, wayang yang lebih mirip wayang kulit, dibuat dari kayu pipih. Jenis wayang ini disebut wayang klitik.

SEJARAH SINGKAT WAYANG GOLEK SUNDA
Di Jawa Barat, tempat berkembangnya wayang pertama kali adalah Cirebon, yaitu pada masa Sunan Gunung Jati (abad ke-15). Jenis wayang yang pertama kali dikenal adalah jenis wayang kulit. Sementara wayang golek mulai dikenal di Cirebon pada awal abad ke-16 dan dikenal dengan nama wayang golek papak atau cepak. Dalam perkembangannya, kita lebih mengenal wayang golek purwa, yaitu yang berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata.
Kelahiran golek berasal dari ide Dalem Bupati Bandung (Karang Anyar) yang menugaskan Ki Darman, juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, untuk membuat bentuk golek purwa. Awalnya wayang kayu ini masih dipengaruhi bentuk wayang kulit, yaitu gepeng atau dwimatra. Pada perkembangan selanjutnya, tercipta bentuk golek yang semakin membulat atau trimatra seperti yang biasa kita lihat sekarang. Kemudian, pembuatan golek pun menyebar ke seluruh wilayah Jawa Barat seperti Garut, Ciamis, Ciparay, Bogor, Kerawang, Indramayu, Cirebon, Majalaya, dan sebagainya.

GOLONGAN UTAMA
Bagaimana wayang golek itu divisualisasikan dalam bentuk atau raut, secara garis besar dikelompokkan dalam empat golongan utama yaitu
1.Satria
Bentuk tubuh golek golongan satria ini menggambarkan keluwesan, ketenangan dan kelemahlembutan, dengan tetap tidak menghilangkan unsur kegagahan dan kecerdasannya. Golongan ini memiliki bentuk mata sipit, alis tipis, dan hidung cenderung kecil dan tidak memiliki kumis. Tokohnya seperti Rama, Samiaji, Nakula, Sadewa.
“Sri Rama beristerikan Dewi Shinta, setelah memenangkan sayembara menarik Busur Pusaka Kerajaan Mantili (Mithiladiraja).”

2.Ponggawa
Golongan golek ini digambarkan sebagai tentara yang ditampilkan dengan bentuk tubuh yang tegap, tegas, dengan mata besar, alis tebal, berkumis, hidung mancung. Tokoh-tokohnya antara lain Gatotkaca, Bima, Duryudana.
“Gatotkaca, salah seorang tokoh dari epos Mahabharata. Dikenal dengan julukan otot kawat, tulang baja, daging besi.
Dia memiliki jiwa seni yang tinggi, pembuat arca, patung-patung dari batu.”

3.Buta
Buta atau disebut juga raksasa memiliki bentuk tubuh tinggi besar, mata melotot, alis tebal, hidung besar dan bertaring atas bawah. Tokoh golongan ini yang terkenal adalah Rahwana.
“Prabu Rahwana, atau Prabu Dasamuka, adalah raja dari Kerajaan Alengkadirja. Ia menculik istri Batara Rama, yaitu Dewi Sinta”

4.Panakawan
Golongan golek ini digambarkan sebagai tokoh yang kocak dan jenaka. Banyak golek ciptaan baru yang digolongkan dalam golek panakawan.
“Cepot alias Sastrajingga Wataknya humoris, suka banyol ngabodor. Kendati begitu, lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.”

FUNGSI :
Dalam catatan sejarah kemunculan wayang golek semasa Kerajaan Pajajaran, wayanggolek berfungsi untuk upacara ritual yaitu untuk ruwatan dan untuk hiburan.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material.
Wayang golek juga lazim dipentaskan dalam perayaan khusus seperti khitanan, perkawinan, perayaan karawitan, hari-hari besar, dan penyambutan tamu-tamu Negara.

CARA MEMBUAT :
Bahan
1. Kayu
Jenis kayu lame dan albasia adalah yang terbaik karena jenis ini ringan, mudah dibentuk atau dipahat serta tahan lama terhadap pengaruh cuaca.
2. Pewarna
Pewarna yang digunakan adalah cat kayu yang berwarna cerah dan mudah kering.
Bahan pewarna yang kini banyak digunakan adalah cat duko (cat untuk mobil). Cat duko lebih menguntungkan dari segi penampilan golek sebab warna golek menjadi lebih cerah. Selain itu, cat duko lebih mudah kering dibandingkan cat kayu.
3. Tuding
Tuding digunakan sebagai pegangan dalang pada saat memainkan golek, yaitu alat untuk menggerakkan bagian tangan golek dan untuk menancapkan golek di atas alas gebok/dudukan golek. Tuding biasanya terbuat dari bambu.
4. Bahan untuk hiasan kepala dan pakaian
Biasanya terbuat dari bahan kain.

PROSES PEMBUATAN
Wayang golek dibentuk dengan cara diraut dan diukir. Setelah itu didempul. Sebelum diwarnai, diberi arsiran dulu untuk menentukan bagian mana akan diberi warna apa. Sementara pada bagian hiasannya, dibuat dengan cara dipulas.

CARA MEMAINKAN
Pementasan wayang pada mulanya hanya dilakukan malam hari. Hal ini berkaitan dengan sifat pementasan wayang yang menitikberatkan tampilan bayangan pada kelir. Baru pada abad ke-16, pertunjukan diadakan pula pada siang hari. Wayang yang dipertontonkan memiliki bentuk trimatra, berupa boneka kayu, yang disebut golek.

Pertunjukan wayang golek biasanya di tempat terbuka dengan memakai panggung yang ditinggikan (balandongan) sehingga penonton dapat melihat satu arah dan berkonsentrasi pada pertunjukannya.
Pada abad ke-19 pementasan wayang golek mulai menggunakan bahasa Sunda. Lakon-lakon wayang golek memiliki lakon galur dan carangan yang semuanya bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Pembawa cerita yaitu dalang, berperan sekaligus sebagai pemimpin pertunjukan sekaligus menyuarakan antawacana, mengatur gamelan, lagu, dan lain-lain.

KHAS WAYANG GOLEK
Daya tarik wayang golek adalah bentuknya yang tidak monoton, baik bagi konsumen (pembeli) maupun bagi pembuatnya. Wayang golek dirancang sedemikian rupa untuk menarik konsumen dan bagus ketika dipajang di galeri. Sementara pembuat wayang golek termotivasi untuk berkreasi misalnya mereka bebas memberi warna pada berbagai karakter wayang golek yang mereka buat, tentunya dengan persetujuan pemilik pabrik wayang golek di mana mereka bekerja. Ini membuat pengrajin wayang golek bisa memnciptakan aneka tampilan wayang golek, sehingga wayang golek ada yang terlihat antik, natural, maupun yang berwarna emas.

CERITA
A. MAHABHARATA
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik antara dua kubu, yaitu para Pandawa dengan sepupu mereka, Kurawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah Negara Astina. Puncaknya adalah Perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan berlangsung selama delapan belas hari.

Pandawa
Kubu Pandawa terdiri dari lima tokoh, karena itulah sering disebut Pandawa lima. Para Pandawa itu adalah :
1. Yudistira
Atau Puntadewa adalah raja negara Amarta atau Indrapasta. Setelah perang Baratayuda, menjadi raja Astina yang bergelar Prabu Kalimataya. Sifatnya: jujur, sabar, hatinya suci, berbudi luhur, suka menolong sesama, mencintai orang tua serta melindungi saudara-saudaranya.
2. Bima
Bima juga dikenal dengan nama Bratasena. Ia juga disebud Bayu Suta karena dianggap sebagai putra dari Dewa Angin. Arti nama Bima adalah setia pada satu sikap, tak pernah mendua dan tak suka berbasa-basi.
3. Arjuna
Arjuna adalah ksatria yang sakti mandraguna, kekasih para Dewa. Ia adalah titisan Dewa Wisnu.
Ia dijuluki lelananging jagad, parasnya sangat tampan dan tidak ada tandingannya. Sifatnya: Suka menolong sesama, gemar bertapa, cerdik dan pandai, ahli dibidang kebudayaan dan kesenian dan berjiwa ksatria. Tetapi ada kelemahan yang tidak boleh diteladani dan diterapkan pada jaman sekarang yaitu beristri banyak.
4. Nakula
Adalah saudara kembar Sadewa. Nakula seorang ahli dalam bidang Pertanian.
5. Sadewa
Ia dilahirkan kembar dengan Nakula. Setelah perang Baratayuda, Sadewa menjadi raja dengan Nakula di Mandraka. Sadewa adalah ahli dalam bidang peternakan.

Kurawa
Kurawa merupakan kelompok antagonis dalam cerita Mahabharata. Jumlah mereka ada seratus, tetapi dua karakter utamanya adalah Duryodana dan Dursasana.
1. Duryodana
Ia merupakan putra tertua di kelompok Kurawa. Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam. Meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena kedunguannya serta terbiasa dimanja oleh orangtuanya.

2. Dursasana
Ia adalah salah seorang Kurawa yang cukup terkenal. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain.
Ramayana

B. CERITA RAMAYANA
Cerita Ramayana adalah sebuah cerita kepahlawanan. Tokoh utamanya, Rama, seorang pewaris tahta Kerajaan Kosala. Tetapi, ia lebih memilih untuk hidup di hutan bersama istrinya, Sita dan adiknya, Laksamana. Ketika tinggal di hutan, Rama harus menghadapi raksasa bernama Rahwana yang menculik istrinya.
A. Kelompok Buta
Brajamusti:
Braja Musti ialah adik Braja Denta. Ia anak kelima dari Arimbaka, raja raksasa negeri Pringgandani. Sifatnya mudah marah, bengis, dan ingin menang sendiri. Sama seperti kakaknya, Braja Denta, Braja Musti berusaha merebut kekuasaan dari tangan Gatotkaca yang menjadi raja Pringgandani. Akhir hidupnya pun tidak berbeda dengan Braja Denta. Ia tewas dalam pertempuran melawan Gatotkaca.

Cakil:
Cakil berwujud raksasa dengan gigi tonggos. Tokoh Cakil hanya dikenal dalam cerita pedalangan Jawa. Cakil selalu ada dan hidup di setiap negara raksasa. Ia merupakan raksasa hutan dengan tugas merampok para satria atau mengganggu ketentraman para brahmana di pertapaan.

Kumbakarna:
umbakarna adalah seorang raksasa yang amat mengerikan namun memiliki sifat perwira. Ia merupakan saudara kandung Rahwana. Sifat Kumbakarna adalah tidur panjang agar ia tidak menyakiti makhluk di dunia. Kumbakarna hanya bangun satu hari dalam waktu enam bulan.
Kumbakarna seringkali memberi nasehat kepada Rahwana bahwa tindakannya keliru. Ketika Rahwana kewalahan menghadapi Rama, ia menyuruh Kumbakarna menghadapinya. Meski tahu bahwa kakaknya yang bersalah, tetapi demi membela tanah tumpah darahnya, Kumbakarna maju melawan serbuan Rama. Namun akhirnya Kumbakarna dibunuh oleh Laksmana, adik Rama.

Arimbi:
Dewi Arimbi berasal dari golongan Buta dan berwujud raksasa. Tetapi ia mempunyai kesaktian bisa beralih rupa dari wujudnya raksasa menjadi putri yang cantik jelita. Dewi Arimbi menikah dengan salah saeorang Pandawa, yaitu Bima. Arimbi memiliki anak dari Bima dan diberi nama Gatotkaca. Watak Arimbi adalah jujur, setia, berbakti dan sangat sayang kepada putranya. Arimbi gugur di medan Perang Bharatyudha karena membela putranya, Gatotkaca, yang gugur akibat panah milik Adipati Karna, raja Awangga.

Rahwana:
Rahwana binasa oleh Batara Rama, dikarenakan menculik Dewi Sinta (istri Batara Rama). Ia dijepit oleh dua gunung kembar yang mana merupakan perwujudan dari dua orang kembar anaknya, yakni Sonara dan Sonari. Kemudian sukmanya ditunggui oleh Anoman, monyet putih.

Arimbaka:
Arimbaka merupakan raja raksasa Negara Pringgandani. Bersama istrinya, Dewi Hadimba, ia memiliki delapan anak yaitu Arimba, Probokesa, Braja Denta, Braja Musti, Braja Lamatan, Braja Wikalpa dan Kalabendana.

Arimba: Arimba putra pertama dari Arimbaka raja raksasa dari Negara Pringgandani. Arimba-lah yang menggantikan ayahnya menjadi raja Pringgandani. Namun kemudian ia terbunuh dalam pertempuran melawan Bima, suami Arimbi, adik kandungnya.

Braja Denta:
Braja Denta salah satu anak dari Arimbaka, raja raksasa Negara Pringgandani. Ia sangat sakti dan berwatak berani, ingin menang sendiri dan selalu mengikuti kata hatinya. Oleh kakaknya, Arimbi, Braja Denta ditunjuk sebagai wakil raja memegang tampuk pemerintahan di negaranya selama Arimbi ikut bersama suaminya, Bima. Ketika Gatotkaca, putra Arimbi, diangkat menjadi raja Pringgandani, Braja Denta melakukan beberapa kali pemberontakan. Namun usahanya itu berhasil diatasi oleh Gatotkaca. Ia pun tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca.

Braja Lamatan:
Braja Lamatan merupakan putra keenam Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani. Sifatnya tidak jauh berbeda dari kedua kakaknya, Braja Denta dan Braja Musti, beringasan, mudah marah, pemberani dan amat sakti. Bersama kedua kakaknya itu, Braja Lamatan tewas dalam pertarungan melawan Gatotkaca.

Pancat Nyana:
Pancat Nyana ialah patih Negara Surateleng pada masa pemerintahan raja Narakasura. Narakasura tewas dalam perang melawan Bambang Sitija, anak Kresna, raja Dwarawati. Lalu Bambang Sitija pun menjadi raja Surateleng dan Pancat Nyana tetap menjadi patih di sana. Pancat Nyana dikisahkan tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca, raja Pringgandani, dalam peristiwa persengketaan hutan Tunggarana.

Betara Kala:
Betara Kala merupakan anak dari Betara Guru dan Dewi Uma. Bisa dikatakan bahwa kehadiran Betara Kala tidak diharapkan. Kisah kelahirannya berawal dari ketika Betara Guru dan Dewi Uma terbang menjelajahi dunia dengan kendaraan suci Lembu Andini. Karena terlena, Betara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan itu. Akibatnya Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan tiba di kahyangan, Betara Guru marah pada dirinya sendiri dan juga Dewi Uma. Betara Guru pun menyumpah-nyumpah bahwa perbuatannya seperti perbuatan ‘buta’ atau raksasa. Seketika itu pula Dewi Uma yang sedang hami berubah jadi raksasa. Betara Guru lalu mengusir Dewi Uma. Dewi Uma melahirkan anak laki-lakinya yang juga berwujud raksasa. Anaknya diberi nama Kala. Karena di duna raksasa tidak mengenal norma perkawaninan, maka dalam perkembangan selanjutnya, Betara Kala justru menjadi suami Dewi Uma. Mereka berdua selalu berbuat onar karena ingin balas dendam pada para dewa pimpinan Betara Guru.

B. Kelompok Panakawan

Cepot:
Cepot merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Cepot selalu menemani para Satria terutama Arjuna. Dalang biasanya menggunakan tokoh Cepot untuk menyampaikan pesan-pesan kepada penonton baik itu nasehat, kritik, petuah ataupun sindiran. Tentu saja semua pesan dari Cepot tersebut dikemas dalam bentuk guyon. Cepot juga dikenal dengan nama Astrajingga. Sastra berarti tulisan, sedangkan Jingga adalah merah. Cepot merupakan gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk. Ia diumpamakan seorang siswa yang memiliki nilai merah di rapot.

Dawala / Petruk :
Dawala nama lainnya ialah Petruk. Suatu hari ia berkelahi dengan Gareng. Karena sama-sama congkak dan sama-sama mempertahankan pendirian masing-masing, terjadilah peperangan antara Dawala dan Gareng. Keduanya memiliki kesaktian yang seimbang sehingga tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Baik Dawala maupun Gareng tidak ada yang mau berhenti berkelahi meski tubuh mereka sudah sama-sama menjadi cacat tak karuan.

Durna:
Semar, Cepot, Dawala dan Gareng merupakan empat tokoh panakawan dari kubu Pandawa. Sementara Durna adalah panakawan dari kubu Kurawa. Ia bersifat sombong, congkak, bengis, serta banyak bicara. Tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannya luar biasa. Durna juga sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa.

Gareng:
Gareng lazim disebut sebagai anak Semar dan masuk golongan panakawan. Usia Gereng sangat panjang. Ia hidup sampai jaman Madya.

Semar:
Semar Badranaya adalah penjelmaan dewa Ismaya. Bersama istrinya, Sutiragen, ia memiliki tiga anak yaitu Cepot, Dawala, dan Gareng. Semar ialah tokoh yang bijaksana, rendah hati, dan selalu membela kebenaran. Selain itu, Semar juga tokoh wayang yang paling sakti dari semua tokoh wayang.

C. Kelompok Ponggawa
Antareja :
Antareja adalah putra Bima dari istri keduanya, Dewi Nagagini. Ia memiliki dua saudara tiri yaitu Gatotkaca (anak Bima dengan Arimbi) dan Raden Jakatawang atau Antasena (anak Bima dengan Dewi Badawangwati). Lidahnya sangat sakti. Makhluk apapun yang telapak kakinya dijilat oleh lidah Antareja, akan menemui kematian. Kulit Antareja juga kebal terhadap senjata.

Bima:
Raden Arya Bima atau Bratasena adalah Pandawa kedua. Perawakan Bima tinggi besar dan seringkali membuat orang takut terhadap dirinya. Meski perangai dan bicaranya kasar, Bima bersikap ksatria dan tidak tanggung-tanggung dalam membela kebenaran. Karena itulah sejak kecil, Bima merupakan Pandawa yang paling diincar oleh para Kurawa sebab ia dianggap Pandawa yang terkuat.

Duryudana:
Duryudana adalah Kurawa yang pertama. Konon Kurawa awalnya dilahirkan dalam bentuk seonggok daging besar. Berkat keajaiban para dewata, maka daging tersebut pecah ke dalam seratus potongan dan potongan terbesar membentuk Duryudana. Duryudana konon sewaktu kecil dimandikan dengan air sakti sehingga tidak dapat luka bila terkena pukulan sekeras apapun. Akan tetapi, siraman air sakti tersebut tidak sempurna karena paha kirinya tertutup daun jati, sehingga menjadi titik lemahnya.

Gatotkaca:
Gatotkaca adalah putra dari Arya Bima dan Arimbisuta. Ayahnya memberi ia nama Jabang Tutuka. Gatotkaca juga memiliki banyak nama pemberian dewa. Namun nama yang dipakainya adalah Gatotkaca, pemberian dari Batara Guru saat di Sawarga Maniloka. Gatotkaca sakti mandraguna dengan segala ilmu dan aji-aji pamungkasnya seperti Ajian Braja Musti, Braja Wesesa, Braja Lambatan, Braja
Denta, Bajing Akeri, dan Sapta Pangrungu.

Jakatawang:
Antasena atau Jakatawang merupakan putra Bima dari istrinya yang bernama Dewi Urang Ayu. Di antara ketiga putra Bima, Antasena-lah yang paling sakti. Antasena mampu terbang di udara, hidup di bawah tanah dan juga menyelam. Ia memiliki tubuh bersisik seperti udang dan tidak mempan ditusuk senjata.

Karna:
Karna atau Adipati Karna ialah salah satu tokoh cerita Mahabharata yang sangat menarik. Ia sebenarnya masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa yaitu Yudistira, Bima dan Arjuna. Para Pandawa tidak tahu kalau Karna masih saudara seibu dengan mereka sehingga mereka suka menghinanya. Para Pandawa baru tahu kalau Karna adalah saudara seibu dengan mereka pada saat Karna gugur di perang Bharatayuddha.

Seta:
Seta ialah kakak ipar Abimanyu, putra Arjuna. Adiknya, Dewi Utari, menikah dengan Abimanyu. Seta bersifat berani, tenang dan sabar. Ia juga hidup sebagai ksatria yang tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Dalam perang Bharatayuddha, Seta berada di pihak Pandawa. Ia adalah senapati perang Pandawa yang pertama. Seta tewas oleh Bisma, senapati perang pihak Kurawa.
Setyaki: Setyaki ialah anak dari hasil pernikahan antara Ugrasena dengan Dewi Wersini. Dalam perang Bharatayuddha, Setyaki berada di pihak Pandawa.

Tirtanata:
Tirtanata ialah nama lain dari Jayadrata. Selain itu, ia juga memiliki nama lain yaitu Bambang Sagara. Untuk memperdalam ilmu dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Tirtanata pergi ke negara Astina untuk berguru pada Pandu Dewanata. Di Astina pula Tirtanata menikah dengan Dursilawati, satu-satunya Kurawa yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini membuatnya terikat dengan kubu Kurawa sehingga ketika perang Bharatayuddha pecah, Tirtanata berada di pihak Kurawa. Dalam perang tersebut, Tirtanata membunuh Abimanyu, putra Arjuna. Kemudian ia sendiri dibunuh oleh Arjuna.

Ugrasena:
Ugrasena salah seorang ipar Pandu Dewanata, raja Astinapura. Ia adalah saudara kandung dari istri Pandu Dewanata, Dewi Kunti. Berkat bantuan Pandu Dewanata, Ugrasena berhasil menikahi Dewi Wersini, seorang bidadari. Wataknya berani, cerdas dan tangkas.

D. Kelompok Satria
Arjuna:
Arjuna adalah Panengah Pandawa, putra kandung dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu Dewanata, Raja Hastinapura.
Sejak remaja, Arjuna merupakan murid yang paling menonjol dalam kecerdasan dan keterampilannya bermain panah di antara Yudistira, Bima, dan para Kurawa.

Bambang Sumantri : Sumantri atau Bambang Sumantri adalah salah satu tokoh cerita Ramayana. Ia memiliki adik yang buruk rupa bernama Sokrasana. Karena malu memiliki adik yang buruk rupa, secara tak sengaja ia membunuh adiknya tersebut. Tetapi Sokrasana menjelma menjadi buaya. Ia pun membunuh Sumantri ketika Sumantri sedang berkelahi dengan Rahwana.

Destarata:
Destarata adalah kakak dari Pandu Dewanata. Sejak lahir, Destarata sudah buta. Ia menikah dengan Gendari dan memiliki seratus anak yang terkenal dengan sebutan Kurawa. Setelah Pandu Dewanata wafat, Destarata diangkat manjadi raja. Destarata tidak memiliki ambisi pribadi dan mendedikasikan hidupnya untuk Negeri Astinapura.

Lesmana:
Lesmana atau yang biasa dikenal dengan nama Laksmana merupakan salah satu tokoh protagonis dalam cerita Ramayana. Ia adalah adik tiri Rama. Ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Rama. Mereka bagaikan duet tak terpisahkan.
Dalam pertempuran melawan Rahwana, kekuatan Laksmana sangat membantu perjuangan Rama membebaskan istrinya, Dewi Shinta. Laksmana berhasil membunuh Kumbakarna, adik Rahwana.

Nakula: Adalah Pandawa ke empat. Ia terlahir kembar dengan Sadewa. Ayah dan ibunya meninggal pada Nakula dan Sadewa masih kecil. Karena itu sejak kecil mereka diasuh oleh ibu Kunti dengan tidak membedakan antara satu dengan lainnya. Pada waktu perang Baratayuda, Nakula dan kembarannya, Sadewa, bisa meluluhkan hati Prabu Salya (dari pihak Kurawa).

Pandu Dewanata:
Pandu Dewanata merupakan raja Astinapura dan ayah dari para Pandawa. Semestinya pewaris tahta kerajaan Astinapura adalah kakak Pandu Dewanata yaitu Destarata. Namun karena Destarata terlahir buta, maka Pandu Dewanata-lah yang diangkat menjadi raja. Selain Destarata, Pandu Dewanata juga memiliki seorang saudara kandung lagi yaitu adiknya yang bernama Widura. Pandu Dewanata menikah dengan Dewi Kunti dan memperoleh tiga putra : Yudistira, Bima, Arjuna. Kemudian ia menikah lagi dengan Dewi Madrim dan mendapatkan putra kembar : Nakula dan Sadewa.

Rama:
Rama beristerikan Dewi Shinta, dan memiliki anak yaitu Kusiya, dan Rama Batlawa.
Karena kepandaian, kesaktian dan kehalusan budinya, Sri Rama mendapat anugrah sebagai titisan Sang Hyang Wisnu yang bertugas memusnahkan angkara murka di muka bumi.

Sadewa:
Bersama kembarannya, Nakula, Sadewa adalah tokoh yang mencerminkan tingkah laku untuk mencapai kesejahteraan/kemakmuran hidup. Sadewa ahli dan tekun dalam bidang peternakan, sedangkan Nakula adalah ahli dan tekun dalam bidang pertanian.

Sinta:
Dewi Shinta adalah istri dari Batara Rama. Ia diculik oleh raksasa Rahwana. Dalam cerita epik Ramayana, Shinta merupakan symbol kesetiaan dan kesucian.
Yudistira: Nama lain dari Yudistira adalah Samiaji dan Puntadewa. Samiaji merupakan panggilan dari Prabu Kresna. Sifatnya jujur, sabar, suka menolong sesama, mencintai orangtua serta melindungi saudara-saudaranya. Ia memiliki dua istri yaitu Dewi Drupadi dan Dewi Kuntulwilaten.

Bambang Irawan:
Bambang Irawan merupakan salah satu putra Arjuna. Ibunya ialah Dewi Ulupi. Bambang Irawan amat disayang oleh ibunya. Mereka tak pernah berpisah. Bambang Irawan ikut bergabung dengan Pandawa lainnya untuk melawan keluarga Kurawa saat perang Bharatayuddha pecah. Ketika itulah untuk pertama kalinya ia berpisah dengan ibunya. Perpisahan itu juga menjadi perpisahan terakhir antara Bambang Irawan dengan ibunya sebab Bambang Irawan tewas pada awal pecahnya perang Bharatayuddha.

Dewi Subadra:
Dewi Subadra adalah salah satu istri dari Arjuna, Pandawa yang ketiga. Bersama Arjuna, Dewi Subadra memiliki seorang putra yang diberi nama Abimanyu. Wataknya setia, murah hati, baik budi, sopan, menarik hati, tetapi ia mudah tersinggung.

Abimanyu:
Abimanyu putra dari Arjuna, salah satu dari lima Pandawa. Sifatnya halus, baik tingkah lakunya, terang ucapannya, berhati keras, bertanggujawab, dan pemberani. Abimanyu beristri dua, yaitu Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari.

Parikesit :
Parikesit merupakan cucu Arjuna. Ayahnya ialah Abimanyu. Sejak lahir Parikesit sudah menjadi anak yatim sebab ayahnya, Abimanyu, gugur di medan Perang Bharatyuddha ketika ia masih dalam kandungan ibunya, Dewi Utari. Parikesit naik tahta menjadi raja Astina menggantikan Yudistira. Parikesit berwatak bijaksana, jujur dan adil. Kesamaan Parikesit dengan kakeknya, Arjuna, adalah sama-sama beristri banyak. Parikesit memiliki lima orang istri. Dari pernikahannya tersebut, Parikesit memperoleh delapan orang anak.

Wisanggeni:
Wisanggeni putra dari Arjuna dan salah satu istrinya, Dewi Dresanala. Wajahnya tampan sementara wataknya bersahaja. Wisanggeni tumbuh menjadi lelaki yang memiliki kecerdikan, kepandaian dan kesaktian luar biasa. Ia bisa terbang di udara seperti Gatotkaca,dapat masuk ke dalam perut bumi seperti Antareja dan mampu menyelam seperti Antasena.

Drupadi:
Ada dua versi cerita mengenai Drupadi. Dalam cerita Mahabharata, Drupadi dikisahkan menjadi istri dari kelima Pandawa setelah kubu PAndawa memenangkan sayembara memanah di Bharatawarsha. Sementara dalam versi pedalangan Jawa, Drupadi hanya menikah dengan Yudistira. Hal ini merupakan penyesuaian cerita wayang dengan budaya Jawa yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Sebab dalam Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu orang.

Kunti Talibroto:
Kunti ialah istri pertama Pandu Dewanata. Dari pernikahannya itu ia melahirkan tiga putra yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga memiliki anak tiri dari istri kedua suaminya yaitu si kembar Nakula dan Sadewa. Nakula dan Sadewa diasuh oleh Kunti setel.

No comments:

Post a Comment